Selasa, 20 Januari 2009

Konflik dan Pemilu

Konflik di Indonesia dapat dibedakan antara konflik vertikal dan konflik horisontal. Konflik vertikal biasanya merupakan konflik antara pemerintah dengan gerakan-gerakan separatis ataupun dengan kelompok masyarakat yang mengalami ketidakadilan, sedangkan konflik horisontal biasanya berbentuk konflik antar etnis, antar agama, maupun antar kelompok sosial politik yang berbeda. Namun ada juga konflik di Indonesia yang lebih disebabkan pada perebutan sumber daya atau ladang ekonomi. Konflik biasanya berawal antara orang dengan orang perorang. Konflik lahir juga karena adnya struktur sosial yang tidak demokratis.

Konflik internal di Indonesia menyebabkan puluhan ribu anak bangsa yang meregang nyawa, dan ratusan ribu lainnya menjadi pengungsi di dalam negeri. Ratusan ribu rumah rata dengan tanah. Sekolah dan berbagai fasilitas publik lainnya luluh lantak. Sekian ribu perempuan mendadak menjadi janda, sekian ribu pula anak-anak yatim menjadi yatim piatu dan putus sekolah.

Sebagai suatu arena perebutan kekuasaan politik sesuai dengan sistem demokrasi, kiranya wajar jika proses penyelenggaraan Pemilihan Umum baik legislatif maupun Pilkada diwarnai oleh perkembangan yang sangat dinamis. Akan tetapi menjadi tidak wajar apabila perkembangan yang dinamis tersebut berubah menjadi sebuah konflik politik yang menyebabkan terganggunya ketertiban dan ketenteraman masyarakat, bahkan dapat pula merebak menjadi konflik massal.

Gejala kekerasan bagi terbukanya layar kekerasan pada Pemilihan Umum sebenarnya sudah bermunculan. Paling tidak ada gejala kekerasan pemilu yang menonjol, yaitu konflik kekerasan yang muncul dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Pelaksanaan pilkada di Indonesia sering diikuti oleh perilaku kekerasan. Bangsa ini terenyak ketika pilkada di Tuban tahun 2005 diwarnai perilaku kekerasan massa pendukung partai dan kandidat kepala daerah. Sebagian gedung utama pemda dihancurkan dan dibakar. Suasana damai dalam dunia sosial ekonomi sehari-hari ikut terganggu. Konflik kekerasan pilkada pun menjadi fenomena di daerah-daerah lainnya. Tengok saja konflik kekerasan pilkada baru-baru ini di Maluku Utara.1)

Pada hakikatnya, sebagai arena kompetisi politik yang sehat, pemilu demokratis membutuhkan sejumlah persyaratan, yaitu antara lain (1) terdapatnya pengakuan terhadap hak pilih universal; (2) terdapat keleluasaan untuk membentuk tempat penampungan bagi pluralitas aspirasi masyarakat pemilih; (3) tersedia mekanisme rekrutmen politik bagi calon-calon wakil rakyat yang demokratis; (4) ada kebebasan bagi pemilih untuk mendiskusikan dan menentukan pilihan; (5) ada komite atau panitia pemilihan yang independen; (6) ada keleluasaan bagi kontestan untuk berkompetisi secara sehat; (7) penghitungan suara dilakukan secara jujur; (8) birokrasi bersikap netral. Jika berbagai persyaratan tersebut di atas dapat terpenuhi, maka akan tercipta suatu pemerintahan sah yang dihasilkan melalui suatu pemilu yang demokratis. Derajat demokrasi yang dihasilkan dalam suatu proses pemilu akan tergantung dari seberapa jauh dapat dipenuhinya secara maksimal masing-masing persyaratan tersebut di atas. Akan tetapi, kualitas Pemilu yang demokratis juga ditentukan oleh seberapa besar kehadiran tindak kekerasan politik. 2)

Dari data kekerasan selama Pemilu 1999, diperoleh faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan sebagai berikut :

1. egoisme partai;

2. tidak senang dengan calon caleg;

3. saling mengejek;

4. pencabutan alat peraga kampanye oleh massa parpol lain.3)

Dari uraian-uraian tersebut di atas, kiranya harus disepakati bahwa keberhasilan dalam pencapaian kualitas Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tahun 2009 merupakan tanggung jawab seluruh anak bangsa.

Perubahan pandangan politik menjadi sebuah keniscayaan. Untuk merubah pandangan politik diperlukan sebuah kesadaran. Kesadaran bahwa pandangan politik kita tidak selamanya benar atau sebaliknya, pandangan politik orang lain selalu salah. Memang, membangun kesadaran politik bukan hal mudah, akan tetapi ketika kesadaran politik itu telah terbentuk, maka Pemilihan Umum yang demokratis pasti akan dijelang.

Wallahu a’lam.

Dedi Priandes


1) Novri Susan, “Conflict Governance” Pemilu, Internet Jumat, 15 Agustus 2008.

2) Hermawan Sulistyo, “Kekerasan Politik dalam Pemilu 1999: Acuan Teoretik Pengalaman Masa Transisi” dalam Kekerasan Politik Dalam Pemilu 1999 (Jakarta: KIPP Indonesia, 2000) hal. 4.

3) Nurhasim dan Tri Ratnawati, “Kekerasan dan Balas Dendam Politik” dalam Kekerasan Politik Dalam Pemilu 1999 (Jakarta: KIPP Indonesia, 2000) hal. 99.