Rabu, 26 Januari 2011

Latah Natal: Bagai NKRI Negeri Nasrani

Oleh: M. Aru Syeif Assadullah

Ini fenomena lebih satu dekade terakhir. Tiap-tiap kali datang perayaan Hari Natal, negeri Muslim NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) ini, mendadak-sontak berubah menjadi Negeri Kristen-Nasrani. Bagai penduduk NKRI 235 juta jiwa, mayoritas beragama Kristen. Padahal catatan resmi jumlah penduduk Indonesia tetaplah 88% lebih beragama Islam, sehingga dikenal sebagai Negara Muslim terbesar di dunia.

Perhatikan saja suasana Natal begitu mendominasi ruang-ruang publik.Topi merah runcing berkuncrit sinterklas dikenakan oleh semua pelayan toko. Lagu-lagu gerejani didengungkan di mal-mal, tempat rekreasi, peron kereta api, hingga di dalam kapal ferry penyebrangan dan pesawat terbang. Belum lagi suasana di media elektronika TV, yang demam Natal dan gereja. Pendek kata suasana yang total warna gereja ini bahkan tidak terjadi seperti ini di berbagai negara Eropa yang memang Kristen sekalipun.

Gejala yang sangat aneh ini terjadi dan sukses karena desakan perjuangan tokoh Kristen Radikal di era Soeharto. Fenomena ini pun tercipta karena kelicikan orang-orang Nasrani tertentu yang terus-menerus “mencekoki” bangsa Indonesia dengan desakan opini, di balik isu tekanan mayoritas. Seolah-olah orang-orang Kristen sebagai minoritas kehidupannya sangat ditekan oleh mayoritas Islam. Berbagai kasus pembakaran gereja dan pembunuhan Pastur dijadikan amunisi dan pembenar kelompok Kristen benar-benar tertindas di Indonesia. Lalu muncul berbagai istilah minoritas-mayoritas, primordialisme, yang menyudutkan posisi kaum mayoritas Islam. Padahal berbagai kasus pembakaran gereja terjadi di satu daerah karena orang-orang Kristen memaksakan diri membangun gereja, kendati di daerah tersebut hanya terdapat beberapa gelintir saja pengikut Kristen.Aparat keamanan tidak memenuhi gugatan umat Islam agar pembangunan gereja yang sangat melanggar SKB tiga menteri itu dihentikan. Umat Islam pun menempuh jalan kekerasan, gereja dibakar.

Jadilah sepanjang pemerintahan rejim Soeharto—setidaknya 25 tahun sejak awal-- sangat memanjakan posisi orang minoritas. Perhatikan saja komposisi kabinet-kabinet rejim Soeharto yang selalu menempatkan posisi strategis di tangan orang-orang Kristen, seperti Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Gubernur BI, Menkopolkam, Menpangab, Menhan dan jabatan strategis lainnya. Tak kurang 30-35% kursi kabinet yang paling strategis diduduki orang-orang Nasrani. Ingat-ingat saja sejumlah menteri Kristen rejim Soeharto yang terus mencengkeram jabatan ekonomi politik dan pertahanan, sampai beberapa periode seperti: Mareden Panggabean, Benny Moerdani, Sudomo, Sumarlin, Radius Prawiro, Adrianus Mooy, Cosmas Batubara dan serenceng nama lainnya. Begitu halnya nama-nama yang duduk di parlemen (DPR-MPR) pun berkisar 35% diisi orang-orang Kristen. Komposisi yang amat “jomplang” ini mulai diluruskan oleh Soeharto sejak akhir 1980-an. Habibie pun mulai mempopulerkan istilah asas proporsional. Dari sinilah kemudian orang-orang Kristen mulai merancang perlawanan untuk menjatuhkan Soeharto dengan memperalat tokoh-tokoh Islam dan kekuatan lainnya.

Tirani Minoritas


Sejatinya apa yang dilakukan golongan Kristen, sebagai minoritas di Indonesia—tak lebih jumlahnya 7% saja—tak pelak merupakan perilaku Tirani Minoritas di dalam negeri yang mayoritas bahkan negeri Islam terbesar di dunia. Perjuangan mendesakkan pengakuan agar disejajarkan semua aspirasinya dengan aspirasi Islam, berhasil dipenuhi rejim Soeharto. Momentum hari raya Natal menjadi momentum pilihan. Fasilitas yang disediakan pemerintah untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri dituntut juga disediakan untuk Hari Natal. Jika pada Hari Lebaran dibentuk satuan pengaman oleh Polri dengan julukan Operasi Ketupat, maka dituntut harus diadakan pula Operasi Lilin. Fasilitas penyediaan alat transportasi pun digembar-gemborkan harus disediakan setara Hari Lebaran untuk pemudik Natal. Padahal pemudik Natal sama sekali tidak ada. Persediaan logistik sembako dan BBM dituntut pula seolah-olah harus ditambah jumlahnya untuk kepentingan Natal. Padahal kebutuhan yang sebenarnya untuk konsumsi Natal tidaklah meningkat sebagaimana konsumsi Lebaran. Desakan golongan Kristen agar fasilitas Natal disediakan pemerintah setara dengan fasilitas Lebaran, bermakna agar Natal dihargai sama besarnya dengan Lebaran. Padahal hanya beberapa gelintir saja penduduk negeri ini yang benar-benar merayakan Natal.

.
Menggelembung di Era Reformasi

Rancangan orang Kristen—kendati minoritas—agar menguasai negeri ini pun makin merajalela justru di era pasca jatuhnya rejim Soeharto yakni di era reformasi, 1998. Alam kebebasan dan demokrasi dimanfaatkan maksimal golongan Kristen. Dengan lantang dan vocal orang Kristen mulai melawan berbagai kebijakan yang dianggap memberangus Kristen, seperti pendirian gereja. Mereka menolak SKB Tiga kementrian. Di berbagai daerah yang justru jumlah penduduknya seimbang dengan jumlah orang Islam, orang Kristen mulai terang-terangan melecehkan orang Islam, bahkan membantai orang Islam dengan sangat biadab. Inilah yang terjadi di Ambon, Poso, dan Kalimantan Barat serta Kalimantan Tengah.

Ekspresi keberanian lebih tepat kekurangajaran orang Kristen justru di era reformasi satu dekade terakhir ini makin hari makin menggelembung. Alam demokrasi dan kebebasan dijadikan dalih yang kuat untuk bertindak apapun bentuknya. Setelah berhasil memaksa seluruh masyarakat untuk mengikuti Natal, mereka mulai menggugat batasan dan aturan pembangunan rumah ibadah (gereja). Mereka bahkan mulai berani menentang pembangunan masjid di daerah Jakarta Timur. Berbagai perusahaan besar yang dimiliki aktifis gereja menerapkan diskriminasi terhadap karyawan beragama Islam. Karyawati yang mengenakan jilbab pun dilarang. Keberanian ini hasil perundingan mereka di gereja dengan perhitungan solidaritas Islam kini dianggap lemah. Kecuali kasus Ambon yang didukung Lasykar Jihad, praktis orang Islam dianggap hanya berhenti protes melalui demonstrasi saja. Satu sama lain di antara kelompok Islam tidak mudah menyatukan persatuan cita-cita. Sebaliknya mereka saling “gontok-gontokan” satu sama lain.

Dalam momentum Natal dan Tahun Baru 2009-2010 saat ini berbagai peristiwa mewarnai fenomena “kebringasan” orang-orang Kristen untuk menunjukkan eksistensinya saat ini yang mulai memenangi berbagai program Kristenisasi di Negeri Muslim NKRI ini. Perhatikan saja, selain acara-acara Natal yang sudah berhasil dibuat sangat dominan di Indonesia, mereka bahkan menggelar acara Natal di sebuah televisi dengan menggunakan bahasa Arab.Dengan sangat bangga acara Natal pun di buat dalam versi Bahasa Jawa, Bahasa Bali, dan bahasa daerah lainnya untuk mengukuhkan dominasi itu.

Beberapa kabupaten di Papua kini pun menerapkan Perda Injil. Namun Perda Injil ini berbeda dengan Perda Syariat yang toleran kepada pengikut agama lain. Pada Perda Injil di Papua menerapkan larangan kepada orang Islam melantunkan adzan di Masjid, melarang perempuan mengenakan busana Muslimah, jilbab dan lain-lain larangan. Walhasil perilaku amat menindas mereka tunjukkan di satu daerah di mana mereka mayoritas, seperti di Papua dan Nusa Tenggara Timur, juga Timor-Timur (saat masih bergabung dengan NKRI).,namun di hampir semua wilayah NKRI mereka dalam posisi minoritas, mereka pun “mengembik” dalam perlawanan sebagai tirani minoritas.

Yang sangat mengkhawairkan adalah perjuangan “Pahlawan-Pahlawan Injil” ini justru di dukung oleh tokoh-tokoh Islam Liberal (seperti dibedah oleh Habib Muhammad Rizieq Syihab MA pada edisi SI No. 80, 18 Desember 2009 lalu berjudul: Syubhat Natal). Sikap orang-orang Islam Liberal yang sejatinya terdiri kaum Komprador dan abdi kepentingan bangsa Barat yang Kristen, lebih tegas lain adalah ekspresi sikap inferiority complex, di kalangan mereka yang semula memang terdiri kaum urban yang sarat oleh kemiskinan dan ketertinggalan. Lalu bagaimana sikap umat Islam menghadapi fenomena Kristenisasi yang “menggila” ini ?

Jika umat Islam mau menengok sejarah lima abad-abad terakhir sebenarnya perjuangan (Baca: Kristenisasi) orang Katolik (Portugis) dan Kristen (Inggris-Belanda) melalui kolonialisme dalam missi zending mereka telah berhasil meng-Katolikkan seluruh daratan Amerika Latin.Ke arah Timur missi mereka berhenti sampai di Philipina saja. Tanah Melayu, Samudera Pasai dan kawaan Nusantara yang kini bernama NKRI, tak mampu ditaklukkan oleh missie zending mereka. Kawasan Nusantara terjaga oleh peranan para wali,dan dilanjukan para du’at di Nusantara dari ke Abad 17 hingga hari ini. Di awal abad lalu lahir Muhammadiyah (1912) disusul lahirnya Nahdlatul Ulama 1926). Fakta inilah yang harus disyukuri, sebagai berkah dan penjagaan Allah Swt.

Walau demikian, fenomena perayaan Natal yang mengindikasikan kemenangan semu golongan Nasrani dengan berbagai perayaan mereka yang over dosis sepuluh tahun terakhir ini mutlak harus direspon dengan “perlawanan” yang lebih tegas kepada keberanian mereka yang semakin “kurang ajar” itu. Inilah jawaban kita yang harus segera menjadi sikap bersama seluruh umat Islam di Nusantara. []

http://www.suara-islam.com/news/muhasabah/resonansi/470-latah-natal-bagai-nkri-negeri-nasrani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar