Senin, 20 Juni 2011

Depdagri akan “Menggerebek” Bintek oleh EO/Swasta?

Ada kabar yang cukup mengejutkan beredar dalam beberapa hari ini: Departemen Dalam Negeri (Depdagri) akan “menggerebek” pelatihan, bimbingan teknis (Bintek), workshop, sosialisasi, atau kegiatan dengan nama lain, yang mengundang PNS atau anggota DPRD sebagai peserta yang diselenggarakan oleh event organizer (EO) swasta. Kabarnya lagi, bagi EO yang tidak memiliki surat keterangan terdaftar (SKT) yang dikeluarkan Depdagri, maka bersiap-siap untuk dipidanakan.
Berita ini tentu sangat mengagetkan, terutama bagi penyelenggara dan pembicara (instruktur, widyaiswara, pemateri) yang selama ini “membantu” Pemda dalam memahami berbagai peraturan perundangan terkait pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan di Daerah. Ada apa sebenarnya di balik tindakan Depdagri ini? Apakah karena memang ada EO yang menyelenggarakan bintek, workshop, atau sosialisasi fiktif? Apakah ini artinya Depdagri ini berbuat lebih baik atau justru karena ada alasan lain, misalnya cemburu?
Makna Bintek, Sosialisasi, Workshop bagi Pemda dan DPRD

Bintek, sosialisasi, atau workshop merupakan kegiatan yang lazim diikuti oleh aparatur Pemda dan anggota DPRD. Pascapemberlakuan UU otonomi daerah (UU No. 22/1999 dan UU No.25/2009) yang diikuti dengan terbitnya berbagai PP (misalnya PP No.110/2000, PP No.105/2000, PP No.109/2000), undangan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut “menyerbu” meja instansi pemerintahan di Daerah. Setiap penerbitan peraturan perundangan yang baru pasti “membawa gerbong” sosialisasi, bintek, dan workshop.
Bagi PNS dan anggota DPRD, ketiga kegiatan tersebut memiliki banyak arti. Secara garis besar, beberapa alasan utama mengapa mereka merasa kegiatan-kegiatan tersebut penting adalah:
  1. Sebagai wadah untuk memahami peraturan perundangan yang baru. Dengan jumlah Pemda yang melebihi 450 tentunya sulit bagi Pemerintah Pusat untuk mensosialisasikan peraturan perundangan baru langsung kepada pejabat dan aparatur daerah. Sebelumnya Depdagri pernah membuat kegiatan sosialisasi untuk Peraturan Menteri Dalam Negeri No.13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Namun, karena peserta diminta membayar kontribusi jutaan rupiah, kegiatan ini menjadi kasus besar dan menyebabkan beberapa pejabat eselon 2 di Depdagri di-non-job-kan. Belakang, Depdagri tidak lagi melaksanakan acara ini karena kalau tidak gratis, maka harus menjadi PNBP yang mesti disetorkan ke kas negara.
  2. Sebagai tempat untuk mendiskusikan beragam permasalahan dalam melaksanakan peraturan perundangan. Mendiskusikan persoalan teknis yang dihadapi daerah dengan pembicara “independen” dalam suatu kegiata “profesional” tentu lebih bermanfaat bagi pejabat/aparatur daerah. Jika pembicara adalah pejabat Pemerintah Pusat, termasuk dari BPK dan BPKP, penyampaian materi cenderung normatif dan men-dokrin “harus begini, harus begitu“, sehingga tidak tidak ada analisis secara kritis, logis, akademis, dan sugestif terhadap peraturan perundangan dimaksud.
  3. Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan2 yang tidak pernah dijawab secara tegas dan tuntas oleh Pemerintah Pusat (Depdagri, Depkeu, Bappenas, BPK, dan kementerian/lembaga lainnya. Penyampaian materi yang normatif dan cenderung mendokrin dari Pemerintah Pusat, menyebabkan persoalan yang dihadapi Pemda tidak terselesaikan secara tuntas. Sudah terbukti bahwa kebanyakan peraturan perundangan di era otonomi daerah kebanyakan bersifat trial and error, masih dalam tahap uji coba. Kita bisa buktikan dengan melihat lebih jauh konsep gradual yang “digadang-gadangkan” oleh Pemerintah Pusat terkait dengan penerapan akuntansi pemerintahan. Oleh karena itu, interpretasi yang “cerdas” sangat dibutuhkan, bukan dokrin yang cenderung hitam-putih.
  4. Sebagai jalan untuk merealisasikan belanja perjalanan dinas. Alokasi anggaran untuk belanja perjalanan dinas cenderung mengalami peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Perjalan dinas dalam hal ini mungkin dialokasikan dalam dua tempat: sebagai bagian dari Program/Kegiatan yang ada di Setiap SPKD dan sebagai bagian dari kegiatan yang sifatnya diskresional. Agar anggaran perjalanan dinas bisa terealisasi, mengikuti bintek, workshop, atau sosialisasi merupakan pilihan paling umum.
  5. Untuk “mencari” dan “menemukan” konsultan. Bagi Pemda yang letaknya jauh dari Jakarta dan kota besar lainnya, ajang bintek, workshop, atau sosialisasi ini dimanfaatkan juga untuk mencari dan menemukan konsultan yang berkompeten, yang diharapkan dapat membantu Pemda dan DPRD dalam melaksanakan peraturan perundangan di daerah. Mengingat Depdagri tidak boleh menjadi konsultan profesional (artinya: dibayar oleh Pemda dengan menggunakan dana APBD), sementara aparat BPKP yang mroyek juga sering tidak bekerja optimal, maka kegiatan bintek, workshop, atau sosialisasi bisa menadi ajang untuk menilai apakah pembicara/pemateri layak menjadi konsultan atau tidak.
  6. Mengkonfirmasi penyataan dari instansi pemeriksa (BPK). Auditor BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) sangat ditakuti oleh aparat Pemda, terutama yang merasa melakukan kesalahan. Hal ini melahirkan anggapan bahwa semua pernyataan auditor BPK adalah sesuatu yang benar dan sesuai peraturan perundangan. Pada kenyataannya, banyak auditor BPK yang melakukan audit laporan keuangan ke Daerah adalah fresh graduate atau anak muda yang baru lulus sarjana strata satu (S1), yang mungkin cuma mengikuti Diklat singkat sebelum turun ke lapangan. Akibatnya, banyak hal-hal konyol terjadi, di mana proses audit tak ubahnya sebagai proses belajar bagi mereka dengan bertanya macam-macam sambil mengancam. Beberapa pejabat/DPRD yang meragukan pendapat atau pandangan auditor ini kemudian mencari pihak lain yang independen untuk mengkonfirmasi, terutama dari perspektif keilmuan atau teori (ilmiah). Ternyata, memang banyak auditor BPK yang tidak paham praktik pengelolaan keuangan daerah yang dilaksanakan Pemda berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
  7. Menghibur diri dan urusan keluarga. Alasan ini pada prinsipnya adalah efek samping dari tujuan 1-6 di atas. Sambil menyelam tentu boleh minum air. Dengan adanya kegiatan bintek, workshop, atau sosialisasi, tentu bisa dimanfaatkan untuk jalan-jalan, berbelanja sesuatu yang tidak bisa didapat di daerah, menjenguk anak atau saudara lainnya, atau “buang stress” setelah capai berkutat dengan rutinitas di kantor.
Apa yang Dilakukan EO Sebenarnya?
Event organizer (EO) di sini adalah lembaga swasta yang menjadi penyelenggara kegiatan bintek, workshop, atau sosialisasi terkait dengan berbagai peraturan perundangan yang sejatinya dilaksanakan oleh Pemda. Mereka mendanai acaranya dari kontribusi yang dibayarkan para peserta dan acara ini biasanya diadakan di hotel berbintang di kota-kota besar, seperti Jakarta, Medan, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, dan Manado.
Materi yang disampaikan umumnya berkaitan dengan pemahaman teknis atas suatu kebijakan atau peraturan perundangan, seperti UU, PP, Permendagri, Permenkeu, SE Mendagri, dll. Para peserta umumnya adalah pejabat daerah, mulai dari eselon 2 sampai eselon 4, dan anggota DPRD, serta staf yang menjadi pelaksana secara teknis.
Proses pelaksanaan dimulai dengan dikirimnya undangan kepada pejabat/PNS/anggota DPRD di daerah. Peserta kemudian mendaftar melalui telepon atau faks ke EO bersangkutan. Biasanya pembayaran bisa dilakukan sewaktu pendaftaran ulang di tempat penyelenggaraan.
Sewaktu mendaftar ulang, para peserta menyerahkan SPPD (Surat Perintah Perjalanan Dinas) untuk ditandatangani dan distempel oleh EO. SPPD ini menjadi salah satu syarat bagi peserta untuk meng-SPJ-kan perjalanan dinasnya di instansi tempatnya bekerja, di samping persyaratan lain seperti tiket dan kuitansi. Setelah di-SPJ-kan, pembayaran penuh dilakukan oleh bendahara pengeluaran di setiap SKPD.
Terkait dengan SPPD ini, sering terjadi penyimpangan berupa penyampaian SPPD yang lebih dari satu oleh seorang peserta. Artinya, EO menandatangani dan menstempel SPPD seseorang, meskipun orang tersebut tidak mengikuti acara bintek secara penuh atau bahkan tidak datang sama sekali. Biasanya SPPD dititipkan ke peserta lain dan sewaktu mendaftar hanya membayar separuh atau bahkan digratiskan jika peserta dari suatu Pemda berjumlah banyak.
Pembuatan SPPD fiktif, yang kemungkinan juga diikuti dengan pemberian sertifikat fiktif, jelas merupakan penyimpangan dan bisa dikatakan sebagai suatu praktik korupsi terhadap APBD. Selain itu, sering juga terjadi praktik pemberian cash back (pengembalian sebagian uang kontribusi kepada peserta, sehingga jumlah pembayaran tidak sama dengan yang tercantum di kuitansi).
Apa yang Salah dengan Depdagri?
Sepertinya memang sering ada yang salah dengan berbagai kebijakan yang dibuat Depdagri. Mungkin sudah terlalu banyak oportunis yang menjadi pejabat di sana, yang memanfaatkan jabatannya untuk keperntingan tertentu. Bagi Pemda sendiri, ini bukan rahasia lagi, setidaknya sudah menjadi rahasia umum.
Bagi pengamat (yang tidak terlibat langsung dalam pembuatan kebijakan), analisis lebih mendalam atas berbagai kebijakan yang dibuat Depdagri (terutama terkait peraturan perundangan yang menyangkut keuangan daerah) tentu sangat menarik. Beberapa pakar pernah menyampaikan kritik, namun berlalu seperti angin. Apa sebenarnya yang terjadi di dalam tubuh Depdagri sendiri?
Dari berbagai diskusi dengan pejabat daerah, anggota DPRD, event organizer, pembicara, dan orang Depdagri sendiri, saya mengambil beberapa kesimpulan sederhana (malah mungkin terlalu sederhana). Sebagai akademisi, sekaligus semi-praktisi, saya melihat ada beberapa hal yang melatarbelakangi tindakan Depdagri melarang atau menggerebek pelaksanaan kegiatan bintek, workshop, dan sosialiasi yang diselengarakan EO, yakni:
  1. Adanya kecurigaan bahwa para pembicara/pemateri menjelek-jelekkan atau melakukan whistleblowing terhadap Depdagri. Kritik yang cerdas umumnya bersumber dari para pakar yang “memahami” persoalan yang dihadapi Daerah sekaligus “mengetahui” permasalahan di Depdagri. Depdagri tidak lagi dipandang sebagai superbody oleh Pemda (terutama kabupaten dan kota) dikarenakan bentuk hubungan yang tidak lagi langsung antara Pemda-Depdagri. “Intervensi” dari Depdagri terhadap kebijakan di daerah nyaris tidak ada, kecuali dalam bentuk pengawasan seperti membatalkan Perda2 yang dipandang tidak mendukung iklim investasi (seperti Perda pajak dan retribusi). Oleh karena itu, ajang bintek, workshop, dan sosialisasi dipandang sebagai sumber “kecerdasan” yang membuat semakin tidak berwibawanya Depdagri di mata Pemda.
  2. Adanya kecemburuan akan besarnya honor yang diperoleh pemateri/pembicara dari acara bintek, workshop, dan sosialiasi. Selain pembicara dari kalangan akademisi (dosen), secara faktual banyak pejabat eselon II dan III Depdagri dan Depkeu yang menjadi pembicara dalam kegiatan bintek, workshop, dan sosialiasi, terutama terkait pengelolaan keuangan daerah. Honor sebulan yang diperoleh dari mengajar ini jauh lebih besar daripada tunjangan pejabat eselon III, bahkan eselon II di Depdagri.
  3. Adanya kekuatiran bahwa Daerah akan semakin pintar dan kritis terhadap kebijakan-kebijakan Pempus, khususnya melalui Depdagri. Keikutsertaan aparatur daerah dan DPRD dalam bintek, workshop, dan sosialiasi biasanya didukung oleh pendanaan dari APBD yang diprogramkan dalam program peningkatan kualitas SDM. Artinya, tujuannya adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman aparatur daerah dan anggota DPRD. Secara teori, orang yang suka dan sering belajar akan menjadi lebih cerdas dan kritis. Dengan demikian, proses pembodohan akan sulit dilakukan apabila masyarakat di daerah semakin cerdas. Hal ini terbukti semakin banyaknya daerah yang berani “memodifikasi” peraturan perundangan yang dikeluarkan Depdagri, disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan daerah. Bukankah tak sampai 5 tahun Kepmendagri No.29/2002 sudah direvisi? Bukankah Permendagri No.13/2006 sudah direvisi sebelum dilaksanakan melalui Permendagri No.26/2006 tentang Pedoman Penyusunan APBD TA 2007? Bukankah ternyata akuntansi pemerintahan dalam Permendagri No.13/2006 tidak konsisten dengan PP No.24/2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, yang kedudukannya lebih tinggi?
  4. Adanya anggapan bahwa pelaksanaan bintek, workshop, dan sosialiasi hanyalah pemborosan APBD belaka. Otonomi daerah yang diberikan selama ini semakin tak jelas dengan kian ketatnya pengaturan masalah keuangan oleh Depdagri. Dalam Permendagri No.32/2008 tentang Pedoman Penyusunan APBD TA 2009 dikatakan bahwa “Penganggaran untuk penyelenggaraan rapat-rapat yang dilaksanakan di luar kantor, workshop, seminar dan lokakarya agar dikurangi frekuensinya” (penjelasan tentang Belanja Barang dan Jasa poin h). Apa tolok ukur atau standar untuk banyak, sedang, dan kurang frekuensinya? Hal ini justru mempermudah Depdagri “menggebuk” Pemda melalui tangan-tangan auditor BPK.
  5. Ada apa di balik kalimat di poin i penjelasan tentang Belanja Barang dan Jasa dalam Permendagri No.32/2008 berikut:Penganggaran untuk menghadiri pelatihan terkait dengan peningkatan SDM hanya diperkenankan untuk pelatihan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah atau lembaga non pemerintah yang bekerjasama dan/atau direkomendasikan oleh departemen terkait.“? Bukankah ini berarti Depdagri belum ikhlas melepas penyelenggaran bintek, workshop, dan sosialisasi ke pihak lain? Terlalu berlebihan jika Depdagri merasa paling mengerti tentang peraturan perundangan yang mereka buat dengan menggunakan tenaga konsultan lain daripada para akademisi yang bergelar doktor atau profesor. Sepertinya sebagian pejabat Depdagri melakukan praktik rent-seeking dalam membuat penjelasan ini, di mana para EO, lembaga kampus, LSM, NGO, dan pihak lain harus membayar untuk memperoleh rkomendasi dari departemen terkait (tentunya termasuk Depdagri dan Depkeu). Kabarnya, bentuk rekomendasi dimaksud adalah Surat Keterangan Terdaftar (SKT) yang dihargai beberapa juta rupiah. Lumayan lah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar