Senin, 20 Juni 2011

Tauladannya Sebening Cahaya
Oleh: Yusron Aminulloh


MANUSIA itu sudah diberi sejumlah panduan lengkap untuk hidup. Apalagi yang mengaku Islam. Al Qut”an dan Al Hadist sudah begitu memberi pedoman utuh. Tetapi untuk mau menjalankannya, adalah tidak gampang. Karena setiap orang disibukkan oleh urusan dunia dengan segala macam problem dan aturannya yang “sering” mengalahkan kemanusiaan kita.
Termasuk diri saya yang penuh kelemahan ini. Maka, saya dan mungkin banyak orang lain, merasa perlu membaca perilaku orang, tauladan dan contoh kongkrit sebagai salah satu pedoman dan contoh kehidupan. Belajar dari kehidupan, rasanya seperti membaca ribuan lembar ilmu dalam berbagai buku.

Padahal sebenarnya belajar pada perilaku manusia, sering membuat kecewa, karena sebesar apapun tokoh yang kita tauladani itu, sehebat apapun karya dan reputasinya, pasti punya kelemahan pada sisi yang lain. Beda dengan Guru Maha Guru, Tauladan sejati, Muhammad SAW.
Tapi berteman dan bergaul dengan orang berilmu dan mulia hidupnya, adalah lebih indah dibanding kita berteman dengan senior kita yang sibuk mempertahankan kedudukan dengan segala macam trik poltiknya. Demi nama baik, harta dan kedudukan.
Baru Selangkah
Selain ayah dan ibu saya ---yang tauladannya masih selangkah yang bisa saya ikuti dibanding ribuan langkah almarhum ayah saya, dan tauladan ibu saya yang masih segar pikiran dan ide idenya di usia 84 tahun sekarang ini---. Saya punya dua orang paman dan bibi. Keduanya adik kandung ayah saya yang ingin saya bagikan kebeningan perilakunya lewat catatan sederhana ini.
Awalnya, kemarin saat saya menemani ibu saya di Yogya, salah seorang cucu bibi saya ada disana. Dari ngobrol panjang, saya jadi ingat betapa mulianya Bibi Sa’diyah, ibu 11 anak yang tinggal di Sepanjang, Sidoarjo, Jawa Timur itu.

Sekitar 3 tahun yang lalu, bibi saya itu sudah dipanggil menghadap Sang Pemilik, dengan keindahan yang luar biasa. Keikhlasannya sebagai ibu, telah menghantar 11 anaknya sukses. Bahkan sebagaian besar anak dan cucunya adalah dokter. Disamping yang lain ada menjadi Direktur salah satu perusahaan di BUMN, Dosen dan sejumlah profesi mulia lainnya.

Sedang adik ayah yang satunya, namanya Hasyim Latief, almarhum, adalah salah seorang tokoh pendidikan dan tokoh NU. Puluhan tahun menjadi anggota DPR RI, tetapi kebersahajaannya tak pernah lepas. Meski sibuk menjadi anggota dewan di Jakarta, setiap jumat pasti pulang ke Sepanjang. Beliau mengajar mengaji dan mengawasi yayasan YPM yang beliau dirikan. Saya sering bertemu beliau saat jumat sore di stasiun Gambir. Maklum, saya di tahun 90an itu juga sering bepergian Jakarta Surabaya saat menjadi wartawan.

Seluruh penghasilannya dari Dewan ia serahkan ke yayasan. Seluruh akses yang beliau miliki di Jakarta, ia sambungkan dengan kepentingan yayasan, bukan kepentingan memperkaya diri (sebagaimana banyak anggota dewan sekarang). Alhasil, yayasan YPM yang beliau dirikan sekarang menjadi besar. Tidak saja di Sepanjang, namun sudah banyak di berbagai daerah di Jawa Timur. Sebuah tanaman kemuliaan yang kini diteruskan adik adik sepupu saya yang meneruskan langkah ayahnya.

Yang tidak pernah saya lupakan sampai sekarang adalah kesederhanaan dan kebersahajaanya. Saya sering menyaksikan beliau membeli kertas sendiri untuk keperluan mesin cetak yang dimiliki dan sejumlah kesederhanaan lainnya termasuk rumahnya yang tetap sederhana sampai akhir hayatnya. Belaiau sering mengingatkan saya agar tidak putus silaturahmi dengan adik-adik saya (putra putrid beliau).

Maka, saya sering memarahi diri saya kalau manja dengan naik pesawat Jakarta-Surabaya PP. “Kamu sombong, belum jadi apa apa saja sudah manja, Ingat Ami Hasyim, anggota Dewan Pusat, setiap jumat pulang dengan kereta dan Minggu sore balik Jakarta dengan kereta. Ngajar ngaji dengan istiqomah puluhan tahun. Sedang kamu belum melakukan apa-apa.”

Tauladan yang saya saksikan sendiri itu jauh dari ribuan nasehat dan puluhan buku tentang kesederhanaan dan konsistensi.

Tetapi kemuliaan Bibi saya jauh lebih indah. Kesetiaannya sama suami, ketegasannya dalam mendidikan anak, seperti tidak mampu dituliskan dalam selembar catatan ini. Beliau ditinggal suaminya menikah lagi, sampai dua kali, tetapi tidak satupun kata “marah”, bahkan beliau tetap setia memasangkan sepatu setiap pagi, meredam anak-anaknya agar tetap menghormati ayahnya.
“Kalau sudah menyiapkan makanan khususnya untuk kakek, tidak satupun anaknya boleh menyentuhm” kata didik sang cucu.
Banyak orang menangis, gak kuat melihat jembarnya hati bibi saya ini. Banyak orang gemes saat sudah tua, menyiapkan segala keperluan baju, bahkan uang saku saat suaminya mau menjenguk istri keduanya. Anak-anaknya disuruh taat dan menghormati ayahnya meski ayahnya “tidak banyak terlibat” dalam proses pendidikan anak-anaknya karena kehebatan istri mulia ini. “Apapun itu ayahmu, tidak ada kamu semua kalau ayahmu tidak ada,”itulah nasehat yang sering disampaikian kepada anak-anaknya.
Yang luar biasa lagi beliau ahli silaturahmi. Dan selalu mengajak anak-anaknya saat mengunjungi saudara saudaranya. Bahkan saya terharu, saat saya punya hajat sunatan anak saya, beliau hadir dengan anak dan cucunya ke rumah. Padahal saya tergolong kepokan. Semua ia jalani dan mengaj semua anaknya. Minimal dua mobil, kadang sampai 4 mobil saat beliau silaturahmi, dan itu dijalani sampai menjelang akhir hayatnya. Tiada capai, dan lelah untuk silaturahmi.
Bahkan, salah seorang anaknya yang kini sudah menjadi dokter spesialis syaraf, sejak menjadi dokter ia diwajibkan ibunya untuk membuka praktek di dekat rumahnya. “itu kewajibanmu untuk berbakti dan beramal untuk warga sini. Disini kamu tidak boleh memikirkan pendapatan,”papar bibi mulia ini. Dan Alhamdulillah, adik saya itu istiqomah hingga kini, semoga bisa terus menjalankan amanah Ibunya.
Akhirnya, catatan ini pada kesimpulan. Betapa kesederhanan, kebersahajaan, kesabaran, kebiasaan silaturahmi, istiqmah menjalankan amanah hidup, sangat mudah dirancang dan diketahui, tetapi sangat sulit dijalankan. Semoga kita mendapatkan “bocoran” binangnya sinar cahaya .
Yogyakarta, 18 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar