Senin, 20 Juni 2011

Stasiun Radio PDRI
Oleh: HARMA ZALDI *

Ranah minang menyimpan sepenggal sejarah yang ditoreh oleh para tokoh nasional. Sejarah perjuangan mempertahan kan Negara Kesatuan Republik Indonesia . Sejarah yang sempat terkubur dan hampir terlupakan oleh generasi bangsa ini. Penggalan sejarah itu terjadi pada bulan Desember 1948.

Saat itu Belanda melakukan Agresi Meliter kedua. Ibukota yang berkedudukan di Yogyakarta berhasil mereka rebut. Presiden dan Wakil Presiden, Sukarno Hatta ditawan, pemerintahanpun lumpuh.

Beruntung NKRI masih bisa dipertahankan. Inisiatif dari beberapa tokoh muslim dari Sumatera Barat mengambil alih pemerintah sekaligus penguasaan Negara dengan membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Ketua dan Wakil Ketua PDRI adalah Sjafruddin Prawira Negara dan Sutan Mohammad Rasyid. PDRI diporklamirakan di Bukittinggi pada tanggal 19 Desember 1848.


Peran dua stasiun PHB Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) yang merupakan cikal bakal RRI di Bukittinggi juga begitu besar dalam mengawal pemerintahan darurat ini. Dua stasiun inilah yang tetap mengumumkan kepada dunia bahwa pemerintah dan Negara Indonesia masing tetap tegak berdiri.

Keberadaan PDRI pertama kali diumumkan kepada dunia luar melalui dua stasiun radio AURI tersebut yang berhasil diselamatkan dari serangan Belanda. Keberadaan PDRI pertama kali digaungkan di sebuah gedung Hotel Mihelmina, di Jalan A.Rivai (eks stasiun RRI BUkittinggi) yang dijadikan kantor stasiun radio. Namun karena terus diserang stasiun ini dungsikan ke Parit Natuang dekat Bukit Balairung Sari Pulai Anak Air.

Keberadaan PDRI terang saja membuat Belanda gusar. Bukittinggi yang dijadikan pusat PDRI tidak luput dari hadiah hujan bom dari Belanda. Untuk tetap bertahan, Sjafruddin dan kawan-kawan memutuskan untuk bergerilya menghindari serangan Belanda serta guna menyusun kekuatan.

Demi tetap terjalinnya komunikasi dengan pihak luar, dua stasiun Radio AURI yang berhasil diselamatkan turut dibawa bersama rombongan. Namun stasiun radio AURI pimpinan Lahukay saat tiba da Halaban tidak sempat mengudara, karena dibumihanguskan oleh Belanda.

Stasiun radio AURI dibawah pimpinan Tamimi diserahkan kepada PDRI ( Sjafruddin Parwiranegara ) untuk melayani komunikasi radio rombongan yang tengah bergerilya. Stasiun radio itu ikut serta bergerilya hingga ke tempat pengungsian di Bidar Alam.

Pada tanggal 23 Desember 1948 stasiun radio PDRI di Halaban untuk pertama kali dapat berhubungan dengan stasiun radio AURI yang lain, baik yang berada di Jawa maupun di Sumatera. Stasiun tersebut berhasil mengumumkan keberadan PDRI ke sluruh stasiun radio yang dapat mereka hubungi.

Gerilya terus diulanjutkan. Perjalan rombongan diteruskan ke Bangkinang, Teluk Kuantan, Sungai Dareh, Bidar Alam melewati Abai Siat dan Abai Sangir. Disni Rombongan di bagi tiga dan bertemu lagi di Bidar Alam dua minggu kemudian.

Pada tanggal 15 Januari 1949 tragedi memilukan bagi PDRI dan seluruh bangsa Indonesia terjadi. Tragedi Situjuh Batur. Rapat besar Pimpinan pejuang Sumatera Barat di Situjuh Batur digrebek patroli Belanda. Banyak korban jatuh termasuk beberapa Tokoh Paling Terkemuka di Sumbar. Antara lain Ketua MPRD, Chatib Sulaiman, dan Puluhan Prajurit dan BNPK di Nagari itu.

Namun pada tanggal 17 Januari 1949, kabar yang memberikan angin segar bagi keberadaan PDRI datang dari rombongan yang tengah bergerilya. Stasiun radio PDRI berhasil mengadakan kontak dengan New Delhi. Konfrensi New Delhi yang dihadiri oleh 19 Delegasi Negara Asia, mengeluarkan resolusi yang berisi protes terhadap agresi Militer Belanda dan menuntut pengembalian Tawanan Politik Sukarno Hatta dan semua pimpinan Republik di Yogyakarta.

Keberadaan stasiun radio AURI terus mengawal perjuangan PDRI. Hubungan dengan pemimpin di pulau Jawa terus dilakukan guna menjalin komunikasi dan konsolidasi yang lebih kuat. Pada tanggal 10 Juli 1949 Sjafruddin dan Panglima Besar Soedirman memasuki Yogya. Sjafruddin bertindak sebagai Inspektur Upacara penyambutan para pemimpin RI yang akhirnya dibebaskan oleh Belanda dan kembali ke Yogya.

Selanjutnya digelarlah Sidang Kabinet Sukarno-Hatta untuk yang pertama kalinya sejak Agresi kedua Belanda. Agenda pokok pada sidang tersebut adalah penyerahan Mandat PDRI oleh Sjafruddin kepada Soekarno Hatta. Sejak itu, babak baru sejarah perjuangan memasuki tahap akhir, hingga penyerahan kedaulatan oloeh Belanda kepada Indonesia, pada tanggal 27 Desember 1949.

Radio PDRI yang turut mengawal perjalanan perjuangan PDRI, akhirnya menjelma menjadi Radio Republik Indonesia stasiun Bukittinggi. Radio yang penuh dengan sejarah dan berperan penting dalam menjalin komunikasi antar daerah di Indonesia. Radio yang turut berjuang menjaga keutuhan NKRI. Radio yang mengumandangkan kepada dunia bahwa NKRI masih tetap berdiri teguh meski para pemimpinnya ditahan.

Stasiun radio yang patut diberi label radio perjuangan. Tetap dengan slogan “Sekali di Udara tetap di Udara” denga Jaya. Stasiun radio yang patut disetarakan dengan keberadaan Stasiun Radio di Yogyakarta dan Solo. Dengan semboyan sekali di udara tetap di udara, RRI terus setia mengikuti perkembangan sejarah bangsa Indonesia sampai saat ini. Begitu banyak artikel-artikel yang mengulas tentang berbagai peran Radio Republik Indonesia, dalam menyampaikan pesan-pesan pembangunan demi tujuan memberikan informasi yang bermanfaat kepada masyarakat.


(*) Penulis Adalah Wakil Walikota Bukittinggi

Sumber: http://www.bukittinggikota.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar